Sebuah Fakta Bukanlah Fiksi

Sebuah Fakta Bukanlah Fiksi

Di sebuah ruangan, empat orang anak tengah duduk dengan posisi nyaman masing- masing. Setelah berjibaku dengan tugas-tugas sekolah yang harus diselesaikan, kini belum ada sepenggal kata pun yang keluar dari mulut mereka. Sesekali terdengar hembusan nafas yang sengaja dihembuskan sedikit keras. Mereka lelah dan bosan.

Setelah negeri ini dilanda wabah Virus Corona, gerak mereka dibatasi. Sekolah online, tempat wisata ditutup, dan bahkan sebenarnya mereka tidak boleh berkumpul. Namun, dengan berbekal keyakinan bahwa mereka tinggal di lingkungan yang dekat dan tidak bercampur dengan orang luar, mereka aman.

Empat anak tersebut terbiasa kumpul di rumah salah satu temannya—di lingkungan yang sama—agar tidak terlalu suntuk saat belajar online. Biasanya, untuk mengusir bosan mereka akan melakukan kegiatan lain, seperti menonton bersama atau melakukan permainan. Setelah sekian lama mereka melakukan rutinitas tersebut, berbagai macam permainan yang bisa dilakukan di rumah sudah mereka lakukan. Sekarang, semua hanya menyisakan rasa jemu. Tidak tahu harus melakukan apa lagi di keadaan pendemi ini.

Salah satu anak berdiri dan meregangkan otot-otot lengannya yang terasa sangat pegal sembari menguap. Ia menatap ke arah teman-temannya yang tidak jauh berbeda dengan keadaan dirinya. Bosan. Satu orang membolak-balikkan buku bekas belajar. Adapula yang menggulir-gulirkan layar ponsel tak jelas sedang melihat apa. “Kapan, ya, pandemi bakalan usai?” ucap Aldi sambil kembali mendudukkan tubuhnya.

“Entahlah, sabar aja. Lagian banyak banget orang yang susah diajak patuh, heran.” Nara menimpali dengan tetap fokus pada ponselnya.

“Iya sih bener, banyak banget orang yang gak patuh sama protokol kesehatan, jadinya, ya, Si Virus asyik dapat mangsa terus.” jawab Aldi.

“Kalau aja semua pada nurut pasti pandemi gak bakalan parah dan lama banget gini, kali ya,” ucap Sarah yang sedari tadi hanya bersenandung tak jelas.

Seperti ucapan mereka, mungkin jika semua orang patuh, pandemi sudah berakhir dari beberapa waktu lalu. Mereka bisa kembali menikmati kehidupan sekolah yang menyenangkan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Virus Corona semakin merajalela. Masyarakat semakin susah melangkah, tentu bagi mereka yang patuh. Yang lainnya masih bebas tanpa merasa takut.

“Astagfirullah!” teriak Nara mengagetkan teman-temannya.

“Ada apa?” tanya Sarah. Nara hanya menyerahkan ponselnya pada Sarah sebagai jawaban. Reyhan dan Aldi ikut menghampiri Sarah dan melihat apa yang mengejutkan Nara. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun,” ucap semuanya serempak, lirih.

Teman sekelas mereka dikabarkan meninggal. Dilihat dari foto yang terdapat di dalam grup kelas, bisa dipastikan temannya meninggal dalam keadaan terinfeksi Virus Corona. Nara dan Sarah menangis mendapat kabar tersebut. Sementara dua orang teman laki-lakinya terduduk dengan pandangan kosong. Untuk pertama kalinya, ia harus kehilangan seorang teman karena terserang virus itu. Sedih, di akhir hidup temannya, mereka bahkan tak bisa sekedar melihat wajahnya untuk terakhir kali.

Sebagai rasa peduli, Aldi sebagai ketua kelas, menyampaikan pada teman-temannya untuk mengumpulkan santunan duka. Dan juga memutuskan untuk mengadakan acara doa bersama meski hanya lewat media online. Aldi menghubungi wali kelasnya untuk memimpin doa bersama tersebut.

Matahari sudah mulai condong ke ufuk barat. Anak-anak itu memutuskan pamit dari rumah Nara. Dengan tetap memakai masker mereka berjalan menuju rumah masing-masing dengan langkah gontai. Aldi yang jarak rumahnya paling jauh masih harus melanjutkan langkah sendirian.

Keramaian yang ia temui di sepanjang jalan tak menghilangkan rasa sendu. Justru menambah rasa kesal. Ia semakin tak habis pikir, mengapa mereka masih berkeliaran tanpa memakai pengaman—masker. Aldi hanya bisa memendam rasa kesalnya. Ia tak ada keberanian menegur orang yang lebih berumur dari dirinya. Ia juga tahu, sebagian dari mereka memang tidak percaya dengan adanya virus mematikan ini.

Saat akan belok ke arah rumahnya, Aldi melihat di lapang sepak bola di daerah tersebut sedang berkumpul anak-anak kecil. Mereka tertawa dan bermain bersama. Aldi mencoba mendekat, “Hai, Dik,” sapa Aldi dengan agak keras. Anak-anak tersebut melirik ke arah Aldi. “Lagi pada ngapain?”

Salah satu anak menjawab, “Abis main bola, Kak.” “Emang gak takut?”

“Takut apa, Kak? Kita udah biasa kok, Kak. Jadi buat apa takut main bola.”

Aldi tersenyum saat mendengar jawaban dari anak lelaki itu. Lalu Aldi jongkok menyejajarkan tingginya dengan mereka. Dengan sabar Aldi menjelaskan kepada mereka tentang Virus Corona. Bagaimana berbahanya dan apa yang harus mereka lakukan. Tak lama satu per satu anak memilih pulang. Alasannya sudah lelah dan haus sehabis main. Tinggallah Aldi seorang diri. Ia hanya menghembuskan napas pasrah. Walau begitu, ia tetap berharap, anak-anak tadi akan mendengarkan ucapannya. Ia tak ingin anak-anak itu bernasib sama dengan teman sekelasnya.

Di suatu pagi, Aldi sedang menghangatkan badan dengan berjemur di lantai dua rumahnya. Aldi melihat anak-anak yang sempat ngobrol tempo lalu masih berkeliaran tanpa masker. Otaknya berpikir keras. Apa yang bisa membuat mereka mau mengikuti aturan, setidaknya untuk menjaga dirinya sendiri.

“Hai, adik-adik, ketemu lagi,” sapa Aldi dengan senyuman di balik masker berlapis. Sore itu ia memutuskan keluar rumah bermaksud menemui anak-anak kecil seusia anak SD itu. Aldi bertekad ingin membantu anak-anak tersebut menjaga dirinya masing-masing dari serangan virus.

Hari itu ia membawa buku cerita bergambar yang ia cetak hasil mengunduh di media sosial. Menurutnya, anak-anak seusia mereka menyukai cerita menarik. Jadi akan lebih baik memberitahu tentang bahaya Virus Corona dengan cara bercerita atau berdongeng. Dan ternyata memang benar, anak-anak itu begitu antusias menyimak Aldi yang sedang bercerita

sembari memperlihatkan ilustrasi gambar di buku yang ia bawa. Sebagai penutup cerita, Aldi membagikan mereka masing-masing dua buah masker.

Hasilnya? Entahlah. Aldi tidak tahu apa upayanya kali ini akan membuahkan hasil. Beberapa hari berlalu Aldi memang tidak menjumpai anak-anak tersebut berkumpul di lapangan. Entah itu hasil dari perbuatan Aldi atau justru mereka jengah dengan nasihat-nasihat yang Aldi berikan. Terlebih Aldi sesekali melihat salah satu anak yang sering berkumpul itu lewat di depan rumahnya. Namun wajahnya masih saja polos tanpa masker.

“Bingung aku, Rey, semoga aja segera punah deh itu virus,” ucap Aldi yang ketika itu sedang berbicara dengan Reyhan via telepon. “Gimana, tugas buat besok udah selesai? Aku lihat contohnya dong, Rey,”

“Etdah, biasanya kan kamu yang paling semangat ngerjain tugas akuntansi, kenapa sekarang belum?”

“Ini baru mau jalan, beli kertas polionya dulu,”

Dari seberang sana terdengar Reyhan tertawa, “Didoakan deh semoga toko alat tulisnya udah pada tutup. Ini udah malam, loh, Di”

Malam itu Aldi keluar dengan sepeda motornya. Ia takut apa yang dikatakan Reyhan benar. Jika itu terjadi maka ia bisa mencari ke toko lain tanpa harus cape berjalan kaki. Ketika melewati pos ronda, Aldi melihat sekumpulan pemuda, sepertinya mereka sedang ada acara masak bersama. Aldi coba tak menghiraukan dan tetap melanjutkan ke tempat tujuan.

Ketika Aldi pulang, pemuda tersebut masih berkumpul di sana dan tengah menyantap makanan. “Aldi, sini kumpul bareng,” Aldi menghentikan laju sepeda motornya. Beno, salah satu teman sekolah, yang juga sedaerah, ternyata ada di antara kumpulan pemuda itu.

“Lain kali, deh, Ben,” dengan mencoba tersenyum Aldi menolak ajakan tersebut. Aldi melihat pemuda lain yang kumpul di sana, entah kenapa tatapannya seperti kurang menyukai Aldi.

Aldi berdehem, “Ya udah, Ben, aku lanjut pulang. Permisi, Bang,” Ia bermaksud berpamitan pada Beno dan pemuda lain yang usianya di atas Aldi. Belum sempat Aldi menginjak rem, ia mendengar perkataan salah satu pemuda di pos itu, “Sok eksklusif banget sih,”

“Maaf maksudnya apa ya, Bang?” Aldi mengurungkan niatnya untuk menginjak rem, dan memilih mematikan mesin motornya. “Aku bukannya gak mau ngumpul, Bang. Kebetulan ada tugas buat besok yang belum dikerjakan,”

Pemuda tadi tertawa, “Cih, dasar kutu buku! Emang kamu tuh sok eksklusif banget, gak mau kumpul-kumpul. Kerjaannya ngusilin anak orang,” Aldi mengerutkan dahinya tanda ia tak paham. “Iya, usil banget sih, Al. Anak-anak main malah dilarang, emang itu lapangan punya nenek moyangmu. Kasihan anak-anak tahu,”

“Maaf, Bang, perasaan Aldi gak pernah ngelarang mereka main,”

“Iya kamu ngelarang mereka. Apa katanya, karena takut kena Corona,” ucapan pemuda itu diikuti tawa membahana teman-temannya, termasuk Beno.

“Sumpah aku gak pernah ngelarang mereka, Bang. Aku hanya mengingatkan mereka akan bahaya virus itu.”

“Sama aja, kali,” Pemuda lain menimpali.

“Emang abang pada gak takut apa? Gimana kalau di lingkungan kita ada yang terinfeksi, kan bahaya,”

“Udahlah, Al, mending pulang aja.” ucap Beni bermaksud menghentikan perkataan Aldi supaya tidak semakin dicecar oleh pemuda-pemuda itu. Tapi hal tersebut justru membuat Aldi sedikit sakit hati, “Ben, kamu kok gitu sih. Kan kamu tahu beberapa waktu lalu, teman kita meninggal gara-gara virus itu. Kamu gak paham juga, Ben?”

“Anak baik, kalau mau membantu program pemerintah, udah sana gabung sama partai politik. Kecil-kecil kok gitu. Nih abang kasih tahu, temanmu meninggal karena memang sudah ajalnya!”

Aldi juga paham. Bahkan sangat paham. Orang meninggal karena memang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Tapi yang perlu dilihat adalah sebabnya. Apa mereka juga akan mengatakan hal tersebut bila suatu waktu ada salah satu kerabatnya yang terinfeksi virus dan kemudian meninggal. Aldi sudah tak tahan diam di sana. Ia memilih pulang dengan perasaan dongkol. Aldi hanya bisa berharap lambat laun mereka semua mengerti tentang keadaan Indonesia sekarang dan mereka bisa mematuhi semua larangan yang telah diberikan oleh pemerintah.

Semenjak hari itu Aldi benar-benar sangat jarang keluar rumah. Ia menghabiskan waktunya untuk belajar, atau sesekali berbincang dengan teman-temannya di media sosial. Ia dan kedua orang tuanya, berusaha menjaga diri. Karena upaya yang bisa mereka lakukan adalah dengan mengikuti peraturan pemerintah.

“Kapan dong kita kumpul lagi? Jenuh tahu belajar sendiri,” ucap Nara yang ketika itu sedang melakukan panggilan video dengan ketiga anak lainnya.

“Kanyanya makin susah, Kalian tahu Bang Farhan? Kabarnya dia positif dan udah diisolasi di rumah sakit?”

“Bang Farhan?” Ingatan Aldi menerawang pada kejadian malam itu. Pemuda yang paling semangat mengolok-ngolok Aldi. Ia yang paling lantang menyuarakan bahwa Virus Corona hanya dusta belaka, kini malah ia yang kena.

“Bang Farhan yang satu tongkrongan sama Beno? Berarti parah ya kalau sampai di isolasinya di rumah sakit,” tanya Sarah memperjelas.

“Iya. Dari kabar yang beredar, awalnya demam sama batuk. Bang Farhan menganggapnya hanya sebatas demam biasa, sampai akhirnya dia mengalami sesak nafas yang parah. Baru deh dibawa ke rumah sakit. Dan waktu dites ternyata memang terinfeksi Virus Corona. Dan katanya dia bener-bener gak bisa bangun saking dadanya sesak.”

Aldi memang pernah dibuat sakit hati oleh pemuda itu, namun kini Aldi merasa kasihan. Akibat sifatnya yang merasa benar dan tidak mau menghargai pendapat orang malah kena getahnya. “Teman-teman, kayanya aku punya ide,” Aldi tiba-tiba berbicara ketika dalam otaknya terbesit satu hal yang bisa membantu warga di daerahnya sadar tentang bahaya virus yang namanya sedang berjaya.

Saat itu juga Aldi memaparkan ide yang ada di dalam benaknya. Ide tersebut disambut baik, sehingga teman-temannya ikut memberi saran agar kegiatan yang mereka rencanakan bisa berjalan dengan lancar. Mereka memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya beberapa waktu ini. Mereka akan keluar rumah, turun ke jalan dengan tetap memprioritaskan protokol kesehatan. Buat apa jika hanya mereka yang terjaga, jika masyarakat sekitarnya terkena virus yang bisa jadi perantara orang meregang nyawa. Maka dari itu mereka bermaksud untuk mengajak orang-orang untuk ikut menjaga diri, demi kebaikan semua pihak.

“Nah, kalian udah pahamkan tugasnya?” ucap Aldi kepada teman-temannya. Saat itu matahari baru sekitar tiga jam menyapa manusia. Keempat anak manusia—Aldi dan teman- temannya—sudah siap untuk bertempur dengan warga sekitar.

“Iya, Aldi,” jawab teman-temannya serempak. Nara mengeluarkan empat boks masker dari tas jinjing hitam yang sedari tadi ia bawa. “Ini aku ada masker, nanti bagi-bagi aja ke warga yang gak pake masker.”

Keempat anak itu berkeliling di daerah tempat tinggal mereka untuk memberitahukan dan meyakinkan orang-orang bahwa Indonesia yang sedang dilanda pandemi ini memang benar adanya, bukan sebatas rumor belaka. Aldi dan teman-temannya sedikit terbantu dengan adanya fakta mengenai salah satu warga mereka yang kini terbaring di rumah sakit karena Virus Corona. Ya, itu adalah Farhan. Mereka bukan memanfaatkannya. Hanya menjadikan musibah yang dialami Farhan sebagai bahan pelajaran dan introspeksi bagi warga di daerahnya.

Perlahan tapi pasti. Aldi dan teman-temannya bisa melihat perubahan warga di daerah tempat tinggal mereka. Kebanyakan sudah merasa waspada terhadap bahaya Virus Corona. Mereka sadar bahwa Virus Corona bukan sekadar cerita khayalan hasil karangan para pemangku kekuasaan di negeri ini. Namun hal yang benar-benar terjadi yang sedang mengancam negeri.

Cerpen Oleh : Salsa Nursabillah

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *